Scroll untuk baca artikel
Sosial Budaya

Konflik Agraria: Wagub Sulteng Tak Paham

×

Konflik Agraria: Wagub Sulteng Tak Paham

Sebarkan artikel ini
Front Rakyat Advokasi Sulteng (FRAS), Eva Bande
Front Rakyat Advokasi Sulteng (FRAS), Eva Bande

PALU, UPDATE HARIAN — Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, Ma’mun Amir, memimpin pertemuan untuk menyelesaikan konflik lahan agraria antara masyarakat dan PT Agro Nusa Abadi (ANA) pekan lalu.

Dalam rapat tersebut, Wakil Gubernur menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh tunduk pada aksi-aksi premanisme yang dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat.

Advertising
Contact Us

Ia juga menekankan bahwa setiap pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Pertemuan tersebut dihadiri oleh pimpinan PT ANA, Bupati Morowali Utara Dr. Delis Hehi, Dirkrimsus Polda Sulteng, Kasi Ops Kasrem, Pejabat Kanwil ATR/BPN Sulteng, dan Ridha Saleh sebagai Tenaga Ahli Gubernur Sulteng.

Front Rakyat Advokasi Sulteng (FRAS) Angkat Bicara

Menanggapi pernyataan Wakil Gubernur, Front Rakyat Advokasi Sulteng (FRAS) mengkritik bahwa Ma’mun Amir tidak memahami konflik agraria yang sedang berlangsung di Sulteng.

“Wakil Gubernur seharusnya memberikan perhatian dan keprihatinan lebih kepada rakyat kecil, bukan malah menjadi tameng bagi korporasi jelas-jelas melakukan praktik buruk di lapangan!” tegas Eva Bande.

Baca Juga  DPRD Parimo Desak Penambahan Kuota Pupuk Subsidi

Menurut FRAS, PT ANA telah beroperasi secara ilegal hampir dua dekade tanpa tindakan tegas dari Pemerintah Provinsi Sulteng, termasuk sejak era Gubernur Rusdi Mastura dan Wakil Gubernur Ma’mun Amir. Tidak ada langkah konkret pemberian sanksi tegas terhadap PT ANA yang terus menerus mengintimidasi petani kecil di Morut.

Eva Bande menyebut bahwa Wakil Gubernur telah gagal menjalankan fungsinya bersama Gubernur Rusdy Mastura.

Catatan FRAS menunjukkan adanya lima kabupaten dengan intensitas konflik agraria tinggi di sektor perkebunan sawit skala besar, yaitu Morowali Utara, Banggai, Poso, Donggala, dan Buol. Di Morut, konflik melibatkan Astra Group, sedangkan di Poso dan Donggala terjadi konflik serupa. Di Banggai, PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) dan anak perusahaan Central Sulawesi serta Kencana Agri Group, PT Sawindo Cemerlang, telah dua dekade merampas tanah rakyat dan memenjarakan warga. Selain itu, PT HIP di Buol, anak perusahaan Murdaya Poo, masih berkonflik dengan ratusan petani plasma.

Eva Bande menutup pernyataannya dengan menyatakan bahwa kinerja Pemerintah Provinsi Sulteng selama empat tahun terakhir sangat tidak berpihak pada masyarakat kecil.

Baca Juga  Konflik Tanah di Kepulauan Togean: Warga 8 Desa di Walea Besar Tuntut Pengeluaran TNKT

Menurutnya, evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Pemprov Sulteng sangat diperlukan, mengingat keberpihakan pemerintah lebih mengarah kepada pemilik modal daripada rakyat yang seharusnya dilindungi.